Oleh : (Amir Ali, S.Pd.)
Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Agar program GLS lebih memiliki pijakan legal formal, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud ini semakin menguat dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Terbitnya Perpres dan Permendikbud ini tidak lepas dari tinjauan terhadap konteks yang sifatnya lebih luas, global. Sebagai contoh, beragam survei internasional menjadikan literasi sebagai subjek pengukuran, salah satunya dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment). Sejak berpartisipasi dalam survei tiga tahunan yang dilaksanakan oleh PISA tahun 2000, posisi Indonesia selalu berada di kelompok bawah. Survei teranyar PISA 2018 yang diliris oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada Selasa, 3 Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dari 77 negara yang disurvei dalam kemampuan membaca. Posisi Indonesia berada di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, bahkan Brunei. Kita tentu bersepakat bahwa literasi merupakan salah satu jawaban terhadap kesiapan untuk bersaing pada tingkat global. Pada World Economy Forum yang diadakan pada tahun 2015 telah dirumuskan 16 kompetensi abad ke-21 yang harus dikuasai siswa dan menempatkan literasi sebagai kunci utama. Selain itu, studi internasional lainnya seperti PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) dan TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study) pun menempatkan pencapaian literasi sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada negara-negara maju dan berkembang. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kemampuan literasi berperan penting bagi seseorang dalam menghadapi fenomena kehidupan beserta segala tantangannya. Kehidupan bergerak karena munculnya beragam informasi. Informasi mengandung pesan, pengetahuan yang akan memandu seseorang dalam berprinsip dan melakukan sesuatu. Tingkat literasi seseorang berhubungan langsung dengan kualitas kemampuan menerima informasi serta menangkap dan melaksanakan pesan yang diterimanya. Kondisi tersebut pun berlaku pada tataran dunia pendidikan, sekolah. Sekolah adalah kawah candradimuka dalam pengembangan dan penguatan literasi siswa, generasi masa depan Indonesia. Kondisi Indonesia di masa mendatang ditentukan oleh siswa saat ini. Cara guru membangun kemampuan berliterasi sangat menentukan eksistensi siswa pada masa mendatang. Sesuatu yang tidak salah bila dinyatakan bahwa guru adalah aktor utama dalam membumikan semangat berliterasi di sekolah. Oleh karena itu, guru perlu menyadari bahwa sasaran Gerakan Literasi Sekolah tidak hanya difokuskan pada siswa, tetapi juga pada guru. Beban utama berhasilnya membangun literasi di sekolah berada di pundak guru. Selain menguatkan literasi siswa, guru pun harus menguatkan literasi diri. Siswa akan menjadi literat bila guru pun literat. Bila siswa diharuskan untuk berliterasi melalui membaca dan menulis, guru pun harus melakukan hal tersebut. Guru bukan lagi sebagai pembuat program dan pemberi perintah untuk dilaksanakan oleh siswa, melainkan sebagai pembuat sekaligus pelaksana program penguatan literasi. Guru adalah sumber kekuatan dalam menumbuhkembangkan literasi siswa. Berkaitan erat dengan harapan itu, Kesepakatan Muscat (Muscat Agreement) yang diselenggarakan oleh Unesco di Muscat, Oman pada tahun 2014 menargetkan bahwa pada tahun 2030 seluruh pelajar di semua negara dididik oleh guru-guru yang memenuhi kualifikasi, terlatih secara profesional, memiliki motivasi, dan mendapatkan dukungan penuh dalam menjalankan tugasnya. Implikasi dari kesepakatan tersebut adalah guru dituntut untuk mengembangkan metode yang inovatif dan kreatif dalam pembelajaran dan juga membangun kemampuan literasi pada siswa. Hal ini dibutuhkan dalam pendampingan siswa dalam pemahaman materi pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir kritis, dan menjadikan proses pembelajaran menjadi menyenangkan. Guru selayaknya memberikan rasa nikmat belajar pada siswa sehingga seluruh aktivitas pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan. Guru perlu pula untuk memahami bahwa keberhasilan program literasi harus diiringi dengan literasi berimbang antara dirinya dengan para siswa. Literasi siswa menjadi kuat dan mengakar bila literasi pada diri guru kuat dan mengakar pula. Keberhasilan penguatan literasi pada siswa harus dibarengi dengan penguatan literasi pada seluruh guru. Marilah memulai, tanpa menunda lagi, dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan literasi karena kita, guru mata pelajaran apapun, memiliki potensi itu. Sekali lagi, berliterasilah pada diri sendiri, sebelum meminta para siswa untuk berliterasi. Semoga! (Guru SMAN 1 Sidoarjo)