Sebanyak 50 bahasa digunakan di Maluku. Tiga terbanyak di Indonesia setelah Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sayang, bahasa tersebut terancam punah, kritis, bahkan sudah ada yang punah.Harlin Turiah, Peneliti Bahasa dari Kantor Bahasa Maluku menyebut berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ada empat bahasa di Maluku yang punah. Yakni, Bahasa Kayeli di Pulau Buru, kemudian bahasa Piru, Bahasa Loon, dan Bahasa Nakaela di Pulau Seram. ”Boleh jadi di masa mendatang bertambah,” katanya. Kenapa begitu? ”Karena kondisinya miris di sini,” jawabnya. Harlin pun menunjukkan kondisi nyata bagaimana penggunaan bahasa daerah di sana. ”Kita coba lihat di tiga negeri (sebutan untuk desa,red), itu sudah representatif terkait kondisi bahasa di sini,” kata pria asli Buton itu.Harlin mengawali dengan mengajak mengunjungi Negeri Tawiri. Masih di Pulau Ambon. Lokasinya hanya lima menit dari Bandara Internasional Pattimura. Tepatnya di sebelah timur bandara. Harlin bertemu dengan Baparaja (kepala desa,red) Negeri Tawiri. Namanya Baparaja Yopi. Nama panjangnya Yacob Nicholas Tuhuleruw. Kami coba tes apakah Baparaja ini masih bisa bahasa Tawiri. ”Aduh sudah tidak bisa, hanya bisa dua tiga kata saja,” jawabnya sebelum kami bertanya.”Pagibae itu artinya selamat pagi, maenusuk itu artinya mari masuk,” ujar Baparaja Yopi sambil mengingat-ingat. Yopi pun bercerita. Memang, bahasa negerinya tersebut sudah tidak lagi digunakan. Semua warganya menggunakan bahasa melayu Ambon. ”2007 masih ada hitungan jari yang bisa, 2010 sudah mulai hilang,” ceritanya. Namun, ada satu orang saja yang bisa. Namanya Yoseph Tuhuleruw. Baparaja Tawiri sebelum Yopi. Sekaligus Pembina Latupati Maluku (pembina baparaja-baparaja,red). ”Ini tapi orangnya di Jakarta,” kata pria kelahiran 3 Juni 1962 itu.Menurutnya, hilangnya bahasa di sana karena memang tidak diajarkan. Di sekolah tidak ada pelajaran bahasa daerah. Bahasanya juga tidak pernah digunakan sehari hari. Apalagi, hampir 70 persen penduduknya adalah pendatang. Efek pengembangan desa. Semakin hilang lah bahasa itu.Kami meminta Yopi menunjukkan satu barang, atau apapun yang terdapat tulisan dengan bahasa Tawiri. ”Tidak ada, tidak ada sama sekali,” jawabnya. Sebagai Baparaja, Yopi sebenarnya sangat ingin bahasa daerahnya tersebut tetap lestari. ”Kami mengusahakan agar jadi muatan lokal di sekolah,” tekadnya.Bergeser dari Negeri Tawiri, ada satu negeri bernama Laha. Kondisinya berbeda jauh dengan Tawiri. Di negeri laha, masih ada ratusan penduduk yang bisa berbahasa Laha. Walaupun jumlahnya masih di bawah 500 orang (terancam punah). Menariknya, Laha merupakan satu-satunya negeri di Kota Ambon yang masih menggunakan bahasa daerah. Negeri lainnya di Ambon sudah tidak menggunakan bahasa daerah.Kami coba cek. Kami masuk kantor negeri Laha. Nampak sekretaris negeri Laha, Halik Kaliki sedang menandatangani sejumlah berkas warganya. Berkas yang sudah selesai, langsung dia berikan ke warganya. Dia panggil warganya langsung. Bahasa yang digunakan untuk memanggil tidak familiar di telinga kami. Itu lah bahasa Laha.Ada dua tipe bahasanya. Ada bahasa Laha yang digunakan untuk percakapan sehari-hari. Ada pula bahasa Tana Laha. Bahasa Tana Laha digunakan untuk acara-acara adat. Terbilag sakral. Misalnya, saat acara doa bersama sebelum menaikkan kubah masjid. Atau saat ada acara pelantikan baparaja baru di rumah adat laha, Baileo Kakihang Siwateru. ”Bahasa Tana Laha yang bisa hanya sedikit, semuanya diatas 50 tahun,” kata pria kelahiran Ambon 21 Maret 1955 itu.Halik, termasuk yang bisa. Dia menunjukkan sejumlah kosakata bahasa Tana Laha. ”Yamikuru artinya kami turun, yamikuruheri artinya kami turun dari atas, bisa gunung atau bukit,” ujarnya mempraktikkan. Resepnya, agar bahasa tetap lestari, harus selalu digunakan. ”Biar anak-anak mendengar, akhirnya mereka ikut praktik,” ungkapnya.Dari dua negeri tersebut, menunjukkan betapa kayanya bahasa di Maluku. Antar desa saja bahasanya sudah berbeda. Sebagai contoh, Bahasa Iha dan Bahasa Luhu di Seram Bagian Barat. Bahasanya sangat berbeda padahal hanya dibatasi dengan pintu gerbang. ”Kembali lagi, sayang sekali kondisinya akan punah,” kata Harlin.Berdasarkan penelitian Harlin, pada 2007 saja, di negeri Titawai di pulau Nusa Laut hanya tinggal dua orang penutur. Semuanya berusia di atas 70 tahun. ”Saya takutkan orangnya sudah meninggal dan akhirnya bahasa punah, kami belum identifikasi lagi saat ini,” katanya. Bahasa Hulung tinggal delapan penutur. Namun kondisinya sudah tidak bisa bicara lagi. Karena faktor usia.Ada pula fenomena menarik. Yakni, adanya bahasa yang punah di negerinya, namun di negeri lain bahasa tersebut digunakan. Misalnya, penduduk negeri Haruku sudah tidak lagi menggunakan bahasa Haruku. Namun, penduduk negeri Aboru malah menggunakan bahasa Haruku.Harlin menyimpulkan, sebagian besar bahasa di Maluku yang hampir punah ada di tiga tempat. Yakni, di Pulau Seram, Pulau Ambon, dan Pulau Lease. Banyak penyebabnya. Antara lain, karena sudah tidak diajarkan di sekolah, hingga ada anggapan bahwa bahasa daerah adalah bahasanya orang mati. ”Saya pernah menemui alasan itu, mereka berpikir tidak ada gunanya bahasa daerah, bahasanya orang mati,” ujar Harlin sambil geleng-geleng. (*)